Jakarta (ANTARA) - Umat Islam di berbagai penjuru negeri menunaikan ibadah kurban dalam perayaan Idul Adha, sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah dan wujud kepedulian sosial untuk berbagi dengan sesama. Momentum sakral ini menjadi pengingat akan nilai-nilai ketakwaan dan solidaritas sosial.
Hanya saja, di balik semarak dan kekhusyukan ritual kurban, terselip satu persoalan yang kerap luput dari perhatian, yaitu dampak lingkungan dari pelaksanaan penyembelihan hewan kurban yang belum tertib dan berkelanjutan.
Berbagai tempat penyembelihan hewan kurban masih dilakukan di lokasi yang kurang memadai, seperti gang sempit, halaman masjid, atau bahkan di pinggir jalan. Di banyak lokasi, limbah organik, seperti darah, jeroan, dan tulang dibuang sembarangan, antara lain di sungai.
Sementara itu, penggunaan kantong plastik sekali pakai untuk membungkus daging masih mendominasi pola pembagian daging hewan kurban, menambah beban sampah kota yang sudah kronis.
Masalah ini bukan soal mengurangi nilai ibadah, melainkan bagaimana kita memperluas pemahaman atas dampak penyembelihan hewan kurban terhadap lingkungan tersebut. Kurban, sejatinya tidak hanya memiliki dimensi vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga dimensi horizontal: tanggung jawab terhadap sesama manusia dan terhadap aspek lingkungan.
Dalam ajaran Islam, konsep rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), amanah, dan islah menjadi dasar bahwa ibadah seharusnya membawa manfaat bagi seluruh ciptaan, termasuk alam semesta.
Sayangnya, kesadaran terhadap dimensi ekologis kurban masih tergolong rendah. Banyak pelaksana kurban merasa cukup dengan menyembelih dan membagikan daging, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.
Meskipun demikian, kondisi ini bukan berarti tidak ada harapan untuk memperbaiki keadaan. Belakangan ini, sejumlah lembaga mulai menunjukkan praktik kurban yang lebih tertata dan ramah lingkungan, misalnya, sebuah lembaga filantropi, telah menggandeng peternak lokal untuk mengurangi emisi dari transportasi hewan dan menerapkan penyembelihan terpusat yang higienis.
Sementara itu FoodBank of Indonesia, organisasi sosial yang membantu mengatasi kesenjangan pangan, menyalurkan daging kurban secara adil ke berbagai daerah, tanpa menimbulkan penumpukan sampah di kota besar.
Langkah-langkah ini memberi sinyal bahwa perubahan menuju ke arah perbaikan telah menemukan jalan. Kurban tetap dapat dijalankan sesuai syariat agama, sekaligus menjadi sarana ibadah dengan tetap menunjukkan tanggung jawab terhadap kesehatan Bumi.
Salah satu langkah awal yang juga sudah mulai dilakukan di beberapa daerah adalah mengganti kantong plastik dengan wadah yang ramah lingkungan, seperti besek dari bambu. Langkah ini perlu didukung dan dijadikan kebiasaan, karena saat ini sebagian besar distribusi daging kurban masih bergantung pada penggunaan plastik sekali pakai. Perlu diingat bahwa Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di dunia.
Pengelolaan limbah yang tertib dan edukasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan kurban yang berkelanjutan juga perlu ditingkatkan.
Selain persoalan teknis pelaksanaan, ibadah kurban juga menyingkap tantangan yang lebih besar, yaitu belum terintegrasinya prinsip keberlanjutan dalam kebijakan keagamaan dan tata kelola lingkungan kota.
Setiap tahun, ribuan ekor hewan disembelih dalam waktu bersamaan, menyebabkan lonjakan limbah organik yang jika tidak dikelola dengan benar dapat mencemari air tanah, menimbulkan bau tidak sedap, dan menjadi sumber penyakit.
Hal ini diperburuk oleh minimnya fasilitas penyembelihan yang memenuhi standar kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Momentum Hari Raya Idul Adha ini, seharusnya bisa menjadi pintu masuk untuk menumbuhkan budaya sadar lingkungan, dimulai dari hal-hal kecil, seperti penggunaan kemasan alternatif berbahan alami dan pengelolaan limbah berbasis komunitas.
Pendidikan publik juga memegang peran penting. Di berbagai masjid dan komunitas, penyuluhan mengenai tata cara kurban yang ramah lingkungan belum menjadi bagian dari program dakwah. Padahal, pesan-pesan keagamaan bisa menjadi sarana efektif untuk membangun kesadaran ekologis umat. Ceramah yang mengaitkan ibadah dengan etika lingkungan, bukan hanya memperluas makna spiritualitas, tetapi juga memperkuat daya dorong perubahan perilaku kolektif.
Lebih jauh lagi, pendekatan saintifik dan kebijakan publik perlu dipertemukan dalam kerangka kurban berkelanjutan. Misalnya, pemerintah daerah dapat menyusun panduan teknis pelaksanaan kurban berdasarkan kajian lingkungan dan kesehatan masyarakat, dengan dukungan akademisi dan aktivis ormas Islam.
Kolaborasi semacam ini dapat memunculkan standar operasional baru, di mana aspek kebersihan, efisiensi logistik, hingga pelestarian lingkungan menjadi bagian dari tata kelola ibadah.
Pemerintah daerah, tokoh agama, panitia kurban, dan masyarakat luas perlu bersinergi untuk menciptakan sistem pelaksanaan kurban yang higienis, tertib, dan ramah lingkungan. Penyusunan regulasi teknis, pembinaan terhadap panitia kurban, hingga penyediaan fasilitas penyembelihan yang sesuai standar menjadi kebutuhan mendesak setiap menjelang Idul Adha.
Idul Adha bukan hanya momen spiritual, tetapi juga waktu reflektif untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam. Jika nilai-nilai keimanan diiringi dengan tindakan nyata menjaga lingkungan, maka kurban tidak hanya menjadi ritual tahunan, melainkan juga menjadi cermin komitmen kita terhadap keberlanjutan hidup.
Sudah saatnya ibadah kurban menjadi teladan, bahwa agama dan pelestarian lingkungan bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan satu kesatuan nilai yang saling menguatkan.
*) Dr Rimun Wibowo adalah dosen Ilmu Lingkungan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik dan Sains Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor